Rabu, 31 Juli 2013

cerita 3 pendekar

3 Pendekar

 Sumber : Pendidikan Itu Penting > adik Saya lahir tahun 78 dan dua tahun kemudian ibu saya meninggal karena suatu penyakit.

Apalah yang dimiliki seorang anak umur 2 tahun ketika ditinggal ibunya kecuali tangis ketidaktahuan.
Ketidaktahuan karena belum bisa berpikir tetapi telah diberi Tuhan perasaan sepi dan kehilangan.
Di sebelah utara rumah saya, tinggal seorang pemuda idiot. Dia kira-kira berumur 12 tahun ketika ibu saya meninggal.
Selain itu, di sebelahnya tinggal pula seorang pemuda lain berumur 20-an tahun yang belum pernah bersekolah,
tidak bisa membaca dan bekerja sebagai kusir andong (kereta/bendi).
Sementara di sebelah barat rumah saya, tinggal pemuda yang juga berumur 20-an tahun, terbelakang, bodoh dan harus keluar dari kelas I SD
karena tak bisa mengikuti pelajaran sedikitpun.
Sebagai anak berumur 2 tahun, tentu saja saya belum begitu mengenal mereka.
Tetapi seiring waktu, saya mulai tahu bahwa merekalah sahabat terbaik dalam hidup saya.
Akal saya yang semakin terasah ketika berumur 5 tahun dan ingatan yang semakin kuat mematri kenangan saya dengan 3 orang hebat
dalam hidup saya tersebut. Merekalah yang saya sebut sebagai 3 pendekar dalam hidup saya.
Tiga orang yang sama-sama terbelakang, tidak bisa membaca dan sering dianggap "agak kurang" (bahasa
halus untuk sedikit gila) oleh tetangga-tetangga,
tenyata merupakan penyelamat hidup saya.
Pemuda pertama, anak belasan tahun yang saya tahu
dipanggil Adek, idiot dan selalu mengeluarkan air
liur dari mulutnya. Karena tak pernah memiliki
teman bermain, saya lah yang selalu dipandangnya
dari jendela rumah. Ketika semua orang mengusir
dan anak-anak lain takut untuk mendekat, dia
mencoba mengenal saya. Dialah yang kemudian
merawat saya, karena ketiadaan ibu dan ayah yang
  terlalu jarang di rumah. Anak idiot itulah yang
    mengajari saya bermain, membuatkan wayang suket,
  mencari kodok di sawah, berendam di kali atau
menonton karnaval 17 Agustus yang tiap tahun
  diadakan di kota kecamatan.
  Pemuda dua puluhan tahun yang menjadi kusir andong
    tadi bernama Gandul. Keterbelakangannya justru
       menjadi sumber kebaikan hati. Setiap hari, begitu
  pulang dari bekerja, dia selalu menyisihkan uang
    Rp 50-100 di bawah jok andongnya. Uang itu khusus
  disediakan untuk saya, anak SD yang tak pernah
  lagi menerima uang saku dari ayahnya. Selama
bertahun-tahun, Gandul melakukan itu karena tahu
   bahwa saya tak pernah bisa jajan jika dia lupa menyisihkan. Dia juga yang mengajak saya
 jalan-jalan, menjadi kernet andong atau bersuka
       dengan kudanya.
   Pemuda ketiga bernama Darsio, karena tak juga bisa
       melakukan apa yang dilakukan kawan-kawannya, dia
    dikeluarkan dari sekolah. Mulai itulah dia
          mendekati saya, mengajak saya bermain di kebunnya
          yang luas. Mencarikan buah apapun yang saya
         inginkan. Jika saya lagi kepingin pisang, dia akan
       mencarinya. Begitu pula ketika saya minta kelapa
  muda di satu siang yang panas, dia akan mengajak
    saya ke kebun dan memetikkan beberapa. Darsio
      mengajari saya berenang, kadang berpetualang
          seharian ke tempat-tempat yang jauh, berjalan kaki
      dan melatih keberanian saya. Karena sebelumnya
saya memang terlalu penakut dan mudah menangis.
  Agar tubuh saya kuat, dia juga memberi segelas
  susu kedelai dari pabrik tahu milik orang tuanya
   hampir setiap hari.
      Ketiga orang itu, 3 pendekar yang mengisi hidup
      masa kecil saya. Menemani dengan tulus sehingga
  kini saya bisa berpikir bahwa Tuhan memang
  mengambil ibu saya, tetapi Dia mengirimkan 3 orang
      hebat dalam hidup saya. Ketiganya terbelakang,
      tidak sekolah, tak bisa membaca, bahkan dua
       diantaranya sampai kini tak punya istri. Tetapi
        merekalah yang mengajari saya banyak hal, menemani
             tahun-tahun sepi, membantu saya siap untuk
mandiri.
      Kini saya 24 tahun dan akan segera menyelesaikan
    kuliah. Karena pengalaman hidup itulah saya bisa
      bertahan hingga sekarang, merantau, mandiri, dan
          memiliki pandangan positif terhadap makluk ciptaan
        Tuhan seperti apapun adanya. Untunglah saya
       dibesarkan oleh 3 orang idiot dan bukannya 3 orang
         profesor, 3 orang kaya, atau 3 bisnisman. Sehingga
       saya bisa memaknai hubungan antar manusia, bukan
        karena kapasitas intelektual, uang atau
    kesuksesan. Bagi saya, ketulusan untuk memberi dan
     sikap menjadi manusia seutuhnya itu lebih penting.
        Berkah dari 3 pendekar hebat, dan karena itulah
       saya selalu beranggapan, seperti apapun
   kondisinya, hidup kita diciptakan Tuhan sangat
       indah. Kalau mata kita memandangnya dengan indah
          pula.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar